abellouvre

Arga memarkirkan mobilnya di parkir basement apartement dimana sang kekasih tinggal.

Berjalan dengan gusar, menyiapkan segala kalimat penjelasan yang akan ia utarakan pada sang kekasih. Ia tahu persis perilakunya kemarin tidak akan termaafkan, sadar akan permasalahan yang terjadi adalah karena dirinya sendiri.

Kini Argaza sudah berada tepat di depan pintu tempat tinggal Liliana, kekasihnya. Menekan bel dengan sedikit keraguan.

Gadis berambut brunette panjang dan berkaos nirvana dipadu dengan celana training abunya—membuka pintu apartnya, menyilakan masuk si pujaan hati, Argaza.

“maaf.”

“udah dimaafin. gak perlu basa-basi cepetan, gue mau pergi.”

“aku gak ada maksud buat bentak dan main tangan sama kamu, li. maaf, aku gak sadar. aku kemakan emosi. maaf.”

”...”

“li, please hm? aku bakal perbaikin ini so please give me one more chance.”

“lo tuh gak cuman sekali ngelakuin itu za. sadar gak?”

“maaf.”

“gue coba buat tahan, buat maafin lo, dan bahkan lo pernah janji ga main tangan—and yell. lo tau gue punya trauma, argaza. lo tau. mungkin iya lo lupa, i could tolerate that. tapi kemaren? no. dan lo juga jalan sama si rania waktu gue minta temenin ke makan ibu.”

“soal rania, aku cuman balas budi keluarga dia yang pernah nolongin aku li.”

“tapi gak pake kiss juga tolol.”

“ITU DIA DULUAN LI!”

Liliana terkejut oleh nada tinggi Argaza yang tiba-tiba ia keluarkan.

“don't yell at me.”

“ya tuhan. lili i'm so sorry. aku gak sadar.”

“let's end here.”

“gak. gak mau.”

Habis sudah kesabaran seorang Liliana. menahan emosi juga kesabaran setelah sekian lamanya dan pipinya kini sudah basah akibat menahan emosinya.

“please, maaf.”

Argaza menghampiri Liliana, menghapus air matanya sembari memeluk lembut sang kekasih.

Namun Liliana hanya terdiam tidak membalas pelukan yang sedikit ia rindukan. Ia hanya tidak tahu harus berbuat apa lagi.

Memaafkannya?

Mungkin Liliana akan mencoba untuk memberikan kesempatan terakhir untuk Argaza.

Jonathan memarkirkan becca tepat di depan angkringan langganannya. Dilihatnya teman-teman perkumpulannya yang sedang sibuk dengan ponsel mereka masing-masing.

“eh Jo. Udah kelar ngapelnya?”

“hm” Jo duduk sembari menyerahkan kantung plastik berisi pesanan Yudha.

“thanks. Besok gue ganti.”

“ck, ye gampang.”

“Lo masih ngejar april, jo?”

“Ya gitu, bang. let it flow aja si gue.”

“Lo dua tuh nempel terus, kemana-mana selalu bareng, gue kirain lo udah confess

“Jo, kalo lo capek, ada gue yang bisa gantiin lo buat ngejar si april.”

Jonathan melirik teman berambut gondrongnya.

“Yang ada april kabur liat lo, yud.”

“Gue sama april kayak abu-abu. Ga jelas.”

“Ya makanya lo perjelas, bodoh.”

“Ngomong doang enak lo, mas”

“Ck, tapi gue juga udah nyaman kita begini.”

Semua terdiam, tidak tahu apa yang ada dipikiran Jonathan saat ini. Bukan hanya sekali-duakali mereka menasehati Jonathan mengenai kepastian yang seharusnya ia ambil saat mendekati April.

“Terserah lo, jo. Kalo lo nyamannya begini, ya udah. Tapi jangan kelamaan, cari timing yang pas. Yang ngincer April bukan cuman lo, inget. Dah ye gue balik, si becca gak boleh pulang malem. Duluan.”

Tian mengambil kunci motor vespa kesayangannya, dan berlalu begitu saja meninggalkan Yudha, Tio, Dimas, dan Jonathan—yang masih bergelut dengan pikirannya.

Jonathan telah sampai dipekarangan rumah milik sahabatnya—April— sembari membawa dua kantung plastik bertuliskan 'Martabak Kang Thohar'.

Meraih ponsel yang nerada di kantungnya, mencari nama sang pemilik rumah.

“Halo, pril. Gue di depan.”

”...”

“Gak, gue cuman mau ngasih ini aja. langsung balik gue. ditunggu anak anak.”

”...”

Jonathan menutup panggilannya. Dilihatnya ke depan pintu rumah si pemilik, terlihat perempuan berkucir kuda—yang ketahui bernama April— berlari kecil menghampiri Jonathan sembari menampilkan senyum khasnya.

“JO! makasih yaaa!”

“Iye, selow. bagi bagi lu sama kak janu. nanti kalo habis gue beliin lagi, gampang.”

“Iyaaaaa, thanks a lot jo hehe. kang thohar kan?”

“hm, si akang nanyain lo tuh.”

“ahaha iya besok gue kesana deh, kangen.”

“sama gue?”

“apaan lo nyet.”

“yaudah besok gak lagi dah gua beliin martabak.”

“bisa minta kak nuar.”

“dih kayak mau aja dia.”

“ya engga si. gak bakal ya kan.”

“yaudah dah gue langsungan ya. kasian si becca nungguin.”

“siapa becca? cewe mana lagi jo? ahaha.”

“sialan. gaaak itu vespanya si bang tian. dah ya gue balik.”

Jonathan berlalu, mengahmpiri vespa hijau di depan rumah April.

“ntar malem call gue!”

Dengan begitu Jonathan benar-benar pergi.

Jonathan telah sampai dipekarangan rumah milik sahabatnya—April— sembari membawa dua kantung plastik bertuliskan 'Martabak Kang Thohar'.

Meraih ponsel yang nerada di kantungnya, mencari nama sang pemilik rumah.

“Halo, pril. Gue di depan.”

”...”

“Gak, gue cuman mau ngasih inj aja. langsung balik gue. ditunggu anak anak.”

”...”

Jonathan menutup panggilannya. Dilihatnya ke depan pintu rumah si pemilik, terlihat perempuan berkucir kuda—yang ketahui bernama April— berlari kecil menghampiri Jonathan sembari menampilkan senyum khasnya.

“JO! makasih yaaa!”

“Iye, selow. bagi bagi lu sama kak janu. nanti kalo habis gue beliin lagi, gampang.”

“Iyaaaaa, thanks a lot jo hehe. kang thohar kan?”

“hm, si akang nanyain lo tuh.”

“ahaha iya besok gue kesana deh, kangen.”

“sama gue?”

“apaan lo nyet.”

“yaudah besok gak lagi dah gua beliin martabak.”

“bisa minta kak nuar.”

“dih kayak mau aja dia.”

“ya engga si. gak bakal ya kan.”

“yaudah dah gue langsungan ya. kasian si becca nungguin.”

“siapa becca? cewe mana lagi jo? ahaha.”

“sialan. gaaak itu vespanya si bang tian. dah ya gue balik.”

Jonathan berlalu, mengahmpiri vespa hijau di depan rumah April.

“ntar malem call gue!”

Dengan begitu Jonathan benar-benar pergi.

Jonathan telah sampai dipekarangan rumah milik sahabatnya—April— sembari membawa dua kantung plastik bertuliskan 'Martabak Kang Thohar'.

Meraih ponsel yang nerada di kantungnya, mencari nama sang pemilik rumah.

“Halo, pril. Gue di depan.”

”...”

“Gak, gue cuman mau ngasih inj aja. langsung balik gue. ditunggu anak anak.”

”...”

Jonathan menutup panggilannya. Dilihatnya ke depan pintu rumah si pemilik, terlihat perempuan berkucir kuda—yang ketahui bernama April— berlari kecil menghampiri Jonathan sembari menampilkan senyum khasnya.

“JO! makasih yaaa!”

“Iye, selow. bagi bagi lu sama kak janu. nanti kalo habis gue beliin lagi, gampang.”

“Iyaaaaa, thanks a lot jo hehe. kang thohar kan?”

“hm, si akang nanyain lo tuh.”

“ahaha iya besok gue kesana deh, kangen.”

“sama gue?”

“apaan lo nyet.”

“yaudah besok gak lagi dah gua beliin martabak.”

“bisa minta kak nuar.”

“dih kayak mau aja dia.”

“ya engga si. gak bakal ya kan.”

“yaudah dah gue langsungan ya. kasian si becca nungguin.”

“siapa becca? cewe mana lagi jo? ahaha.”

“sialan. gaaak itu vespanya si bang tian. dah ya gue balik.”

Jonathan berlalu, mengahmpiri vespa hijau di depan rumah April.

“ntar malem call gue!”

Dengan begitu Jonathan benar-benar pergi.